Wednesday, June 25, 2008

Di atas sejadah cinta (part 1)



Cerita ini saya baca melalui karangan novel Habiburrahman El Shirazy, kisah cinta ini ingin saya kongsikan bersama sahabat-sahabat perkasa sekalian.......

Kota Kufah terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebahagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.
Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegak menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teduh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya ’Zahid’ atau ’Si Ahli Zuhud’, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan dan paling mencintai masjid di Kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota itu. Saat itu masjid adalah pusat pendidikan, peradaban, informasi dan perhatian.
Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat-ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuhnya bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala di hadapannya. Namun jika sampai pada ayat-ayat nikmat dan syurga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur seluruh tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai pada surah Asy-Syams, ia menangis,

"fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
Qad aflaha man zakkaaha
Wa qad khaaba man dassaaha ... "
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan merugilah orang yang mengotorinya ...)

Hatinya bertanya-tanya. Apakah ia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya? Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk orang yang beruntung ataukah yang merugi?
Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya bergoncang. Akhirnya ia pengsan.
***
Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari dengan riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar dari 3 lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh mempesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair cinta.
”in kuntu ’asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq ...”
(jika aku pecinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar ...)
Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orang tuanya menyunggingkan senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata,
”Abu Afirah, puteri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair yang ia dendangkan.”
”Ya, itu syair cinta. Memang sudah saatnya ia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”
”Bagaimana, kau terima atau...”
“Ya jelas langsung aku terima. Dia kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang menolong kita dahulu waktu kesusahan. Di samping itu Yasir gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”
“Tak perlu! Tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
”Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
”Ah, itu mudah. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”
***
Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah tidak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya, seorang penari melenggok- lenggokkkan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
”Ayuh bangun Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” Bisik temannya
”Be...benarkah?”
”Benar. Ayuh cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini!”
”Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari diiringi irama gendang dan seruling. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ke telinga Yasir,
”Apakah anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.
***

Keesokan harinya.
Selesai sholat dhuha, zahid meninggalkan masjid menuju pinggiran kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berdzikir membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan epal untuk saudaranya yang sakit tersebut.
Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu terus mendekat dan membesar. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang yang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya mendengar suara’
”Tolooong...tolooong!!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu makin jelas.
Suara minta tolong itu makin jelas juga. Suara seorang perempuan. Dan matanya bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
”Tolooong! Tolooong hentikan kuda ini! Ia tak bisa dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu makin dekat dan tinggal beberapa meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat, ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,
”Hai kuda makhluk ALLAH, berhentilah dengan izin ALLAH!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada di punggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekat dan menyapanya,
”Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab perlahan.
”AlhamduliLlah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
”Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyedari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa pengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik dan mempesona.
”Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama tuan, dari mana dan mau ke mana tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih di depannya. Hatinya bergetar hebat. Saraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah pertama kalinya ia menatap gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona. Zahid tersedar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. ”Inna liLlah. AstaghfiruLlah,” gemuruh hatinya.

Kisah seterusnya akan saya sambung nanti......Insya-ALLAH.

No comments: